Mudahnya Berbicara Sesuai Konteks
Bahasa yang baik adalah bahasa yang sesuai dengan konteks. Halliday (1994) mengatakan bahwa konteks berkaitan dengan tiga hal, yaitu medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Medan wacana merujuk pada hal yang sedang terjadi, pada sifat tindakan sosial yang sedang berlangsung; pelibat wacana mengacu kepada orang-orang yang ambil bagian dalam wacana, kedudukan dan peran mereka; sarana wacana menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa termasuk salurannya (apakah diucapkan ataukah dituliskan ataukah gabungan keduanya?). Secara sederhana, ambillah contoh pada pemakaian kata saya, Anda, Saudara, Beliau, kamu. Pemakaian kata-kata itu ditentukan oleh faktor Pelibat wacana. Seorang anak tidak mungkin menggunakan kata “Anda” kepada ayahnya sendiri ketika berbicara santai di rumah. Kita pun bisa memaklumi penggunaan kata gw (gue, saya) atau lo (elo, kamu) yang disampaikan teman akrab kita lewat SMS.
Secara tersirat, J.D. Parera (1985) mengaitkan konteks sebagai putaran jam berbahasa. Ada putaran jam berbahasa formal, yaitu saat kita di sekolah, di kantor; ada putaran jam berbahasa komunikasi, yaitu saat kita berkonsultasi dengan dokter kita; ada putaran jam berbahasa santai, yaitu saat kita berbahasa dengan teman-teman akrab kita atau keluarga kita; ada ada putaran jam berbahasa rahasia, yaitu saat kita berbicara agar tidak diketahui oleh lain kecuali orang yang kita maksud. Dengan bahasa lain, setiap hari kita menggunakan bahasa bergantung situasi dan siapa yang diajak berbicara. Kadang bahasa yang baik menghilangkan kelengkapan kalimat, tapi tetap bisa dipahami oleh lawan bicara kita. Misalkan, kita dengar ada teman yang berbicara, “Besok, ya!”. Kalimat itu tidak bersubjek dan berpredikat, tetapi konteks-lah yang akan membantu kita memahami makna yang dikandung kalimat tersebut.
Pernah Anda memperhatikan penulisan SMS teman kita atau SMS yang kita tulis sendiri. Kata seorang ahli, ada empat gejala dalam penulisan SMS. Pertama, penyingkatan. Gejala ini dapat dipahami sebab berkaiatan dengan kepraktisan dan tarif yang diterapkan operator (prinsip ekonomis). Contoh di atas kata gue disingkat menjadi gw, banget menjadi bgt. Kedua, penambahan huruf (ini sebenarnya bertentangan dengan gejala pertama). Bukankah Anda pernah menulis kata ni menjadi nie? Atau sih menjadi sich? Ketiga, keinggris-inggrisan sekaligus dengan penyingkatan. Misalnya, by the way menjadi btw, on the way menjadi otw. Keempat, penambahan tanda baca atau simbol-simbol tertentu. Saya tentu tidak akan mengatakan bahwa bahasa yang kita pakai di-SMS itu tidak baik, bahasa itu baik, namun tidak benar. Kontekslah yang memungkinka hal itu dianggap baik.
Bahasa yang benar adalah bahasa yang mengikuti kaidah atau aturan yang berlaku. Dalam bahasa Indonesia, jika kita mau berkeringat sedikit, kata yang benar dapat kita cari pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Pembentukan kata atau pembuatan kalimat yang benar bisa kita pelajari pada buku Tata bahasa Baku Bahassa Indonesia. Buku ini, sebagaimana dikatakan pada Kata Pengantarnya, ditujukan juga kepada orang awam. Artinya, penyusun buku sudah berupaya sedemikian rupa meninggalkan istilah-istilah linguistik dan memberikan penjelasan yang mudah dipahami. Untuk penulisan huruf, penulisan kata, dan tanda baca, kita bisa mengeceknya di dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Bahasa Indonesia yang benar pada dasarnya sudah kita pelajari sejak kita masuk sekolah dasar, bahkan sampai sekolah menengah atas.
Sedikit saya ingin menyinggung tentang kamus. KBBI itu adalah kamus yang preskriptif. Kamus yang menunjukkan mana kata yang benar dan mana yang salah. Melihat kamus tentu ada caranya dan ada kiatnya. Saya ingat tulisan Alfons Taryadi (di rubrik bahasa harian Kompas, saya tidak ingat tanggalnya) yang menyatakan kesia-siannya mencari kata sia-sia dalam KBBI Edisi IV. Rupanya, kesia-sianya itu terjadi sebab ia menganggap sia-sia merupakan derivasi (turunan) dari kata sia. Pada KBBI Edisi IV, terdapat lema sia yang diikuti sia-sia yang berarti ‘ikan badar’. Padahal, terdapat juga lema sia-sia (dianggap satu kata) yang bermakna ‘terbuang-buang saja, tidak ada gunanya, dst.’ Jadi, menurut saya, melihat atau membaca kamus harus selengkap mungkin dan melihat berbagai kemungkinan kata.
Bukankah kamus itu mahal? Kalau memang tidak bisa membeli edisi cetak, kita isa membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia melalui internet. Alamat linknya http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ Tapi, sedikit catatan saya, kamus edisi daring (dalam jaringan) ini masih edisi III, yang berlaku sekarang edisi IV. Lumayanlah, kalau untuk melihat bentuk dasar kata dan makna katanya masih bisa akurat.